1.
Monopoli
Pengertian
Monopoli dan Ciri-ciri Monopoli – Secara bahasa, Monopoli berasal dari bahasa
yunani, yaitu Monos dan Polein. Monos berarti sendiri, sedangkan Polien berarti
penjual. Jika kedua kata tersebut digabung , saya memaknakan secara garis besar
bahwa monopoli adalah “menjual sendiri” yang berarti bahwa seseorang atau suatu
badan/lembaga menjadi penjual tunggal (penguasaan pasar atas penjualan atau
penawaran barang ataupun jasa).
Melanjutkan
apa yang telah saya sebutkan diatas, dalam artikel kali ini saya akan mencoba untuk
memberikan informasi mengenai pengertian monopoli dan ciri-ciri monopoli,
berikut adalah penjelasannya :
Pengertian
Monopoli
Monopoli
adalah suatu penguasaan pasar yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan
atau badan untuk menguasai penawaran pasar (penjualan produk barang dan atau
jasa di pasaran) yang ditujukan kepada para pelanggannya.
Bagaimana
dengan PT PLN, apakah itu suatu praktek monopoli ? Kalau menurut saya itu bisa
dibilang sebuah praktek monopoli dan juga bisa dibilang bukan praktek monopoli,
kenapa ? Bisa dibilang praktek monopoli karena PT PLN memanglah satu-satunya
perusahaan listrik di indonesia yang menguasai pangsa pasar di indonesia. Tapi
bisa juga dibilang bukan praktek monopoli karena PT PLN adalah perusahaan milik
negara yang bertugas melayani para warga ataupun penduduk indonesia.
Ciri-Ciri
Monopoli
Monopoli
memiliki ciri-ciri beberapa hal, yaitu :
Penguasaan pasar, pasar akan dikuasai oleh
sebagian pihak saja
Produk yang ditawarkan biasanya tidak
memiliki barang pengganti
Pelaku praktek monopoli dapat mempengaruhi
harga produk karena telah menguasai pasar
Sulit bagi perusahaan lain untuk memasuki
pasar
2. Oligopoli
Pasar
oligopoli dari segi bahasa berasal dari kata olio yang berarti beberapa dan
poli yang artinya penjual adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang
dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua
tetapi kurang dari sepuluh.
Dalam
pasar oligopoli, setiap perusahaan memosisikan dirinya sebagai bagian yang
terikat dengan permainan pasar, di mana keuntungan yang mereka dapatkan
tergantung dari tindak-tanduk pesaing mereka. Sehingga semua usaha promosi,
iklan, pengenalan produk baru, perubahan harga, dan sebagainya dilakukan dengan
tujuan untuk menjauhkan konsumen dari pesaing mereka.
Praktik
oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan
perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar, dan juga
perusahaan-perusahaan melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk
menikmati laba normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual
terbatas, sehingga menyebabkan kompetisi harga di antara pelaku usaha yang
melakukan praktik oligopoli menjadi tidak ada.
Struktur
pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital
intensive yang tinggi, seperti, industri semen, industri mobil, dan industri
kertas.
Dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999, oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori
perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan
reaksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan
kartel, sehingga ketentuan yang mengatur mengenai oligopoli ini sebaiknya digabung
dengan ketentuan yang mengatur mengenai kartel
3. Undang – Undang Anti Monopoli
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999TENTANG
LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama
bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi
pasar yang wajar;
c.
bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari
kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian
internasional;
d.
bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu disusun
Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
Mengingat
:
1.
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAMEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB
IKETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
b.
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum.
c.
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar
bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga
barang dan atau jasa.
d.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai,
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
e.
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
f.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
g.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa
pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
h.
Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar
bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
i.
Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan
atau jasa.
j.
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
k.
Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang
aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan
kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan
keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.
l.
Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai
tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target
penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
m.
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu
yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu.
n.
Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa
sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
o.
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik
untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
p.
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
BAB
IIASAS DAN TUJUAN
Pasal
2
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Pasal
3
Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a.
menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.
mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.
terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
BAB
IIIPERJANJIAN YANG DILARANGBagian PertamaOligopoli
Pasal
4
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KeduaPenetapan Harga
Pasal
5
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a.
suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.
suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal
6
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal
7
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
8
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
KetigaPembagian Wilayah
Pasal
9
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
KeempatPemboikotan
Pasal
10
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk
menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga
perbuatan tersebut:
a.
merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau
jasa dari pasar bersangkutan.
Bagian
KelimaKartel
Pasal
11
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
KeenamTrust
Pasal
12
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
KetujuhOligopsoni
Pasal
13
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua)
atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KedelapanIntegrasi Vertikal
Pasal
14
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian
KesembilanPerjanjian Tertutup
Pasal
15
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a.
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau
b.
tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian
KesepuluhPerjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal
16
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
BAB
IVKEGIATAN YANG DILARANG
Bagian
PertamaMonopoli
Pasal
17
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a.
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KeduaMonopsoni
Pasal
18
(1)
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KetigaPenguasaan Pasar
Pasal
19
Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal
21
Pelaku
usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
KeempatPersekongkolan
Pasal
22
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal
23
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
24
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
BAB
VPOSISI DOMINAN
Bagian
PertamaUmum
Pasal
25
(1)
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk:
a.
menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas; atau
b.
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan.
(2)
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh
puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bagian
KeduaJabatan Rangkap
Pasal
26
Seseorang
yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan,
pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain, apabila perusahaan–perusahaan tersebut:
a.
berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.
memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c.
secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Bagian
KetigaPemilikan Saham
Pasal
27
Pelaku
usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang
melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan:
a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KeempatPenggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal
28
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2)
Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila
tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai
pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini,
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
29
(1)
Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya
melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
tersebut.
(2)
Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB
VIKOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Bagian
PertamaStatus
Pasal
30
(1)
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2)
Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3)
Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian
KeduaKeanggotaan
Pasal
31
(1)
Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua
merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2)
Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3)
Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)
Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru.
Pasal
32
Persyaratan
keanggotaan Komisi adalah:
1.
warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
2.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3.
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4.
jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5.
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6.
berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di
bidang hukum dan atau ekonomi;
7.
tidak pernah dipidana;
8.
tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9.
tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Pasal
33
Keanggotaan
Komisi berhenti, karena :
a.
meninggal dunia;
b.
mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d.
sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e.
berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f.
diberhentikan.
Pasal
34
(1)
Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(2)
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3)
Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4)
Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan
kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian
KetigaTugas
Pasal
35
Tugas
Komisi meliputi:
a.
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b.
melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c.
melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan
Pasal 28;
d.
mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal
36;
e.
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f.
menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g.
memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian
KeempatWewenang
Pasal
36
Wewenang
Komisi meliputi:
1.
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2.
melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
3.
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
4.
meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini;
5.
mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha
lain atau masyarakat;
7.
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8.
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Bagian
KelimaPembiayaan
Pasal
37
Biaya
untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB
VIITATA CARA PENANGANAN PERKARA
Pasal
38
(1)
Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi
pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada
Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran,
dengan menyertakan identitas pelapor.
(2)
Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap
Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan
keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta
kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
(3)
Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan oleh
Komisi.
(4)
Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Komisi.
Pasal
39
(1)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2),
Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib
menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
(2)
Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku
usaha yang dilaporkan.
(3)
Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha
yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.
(4)
Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli,
dan atau pihak lain.
(5)
Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4),
anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal
40
(1)
Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan
terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata
cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Pasal
41
(1)
Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti
yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(2)
Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang
diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses
penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik
untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal
42
Alat-alat
bukti pemeriksaan Komisi berupa:
a.
keterangan saksi,
b.
keterangan ahli,
c.
surat dan atau dokumen,
d.
petunjuk,
e.
keterangan pelaku usaha.
Pasal
43
(1)
Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (1).
(2)
Bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap
undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat
(2).
(4)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu
sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada
pelaku usaha.
Pasal
44
(1)
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan
putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada
Komisi.
(2)
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan
tersebut.
(3)
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4)
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada
penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti
permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal
45
(1)
Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keberatan tersebut.
(2)
Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
(3)
Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(4)
Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan kasasi diterima.
Pasal
46
(1)
Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
BAB
VIIISANKSI
Bagian
PertamaTindakan Administratif
Pasal
47
(1)
Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2)
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.
penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
dan atau
e.
penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f.
penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.
pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian
KeduaPidana Pokok
Pasal
48
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian
KetigaPidana Tambahan
Pasal
49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; atau
b.
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
pada pihak lain.
4. Kasus Pada Berbagai Struktur Pasar
“Temasek
Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen
saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel”
Berdasarkan
data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa
ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua
perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di
Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan
kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari
keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum
mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama
artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau
badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan
tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham
tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan
financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki
informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya.
Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik
untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak
sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?
Seperti
halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang
sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada
awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT
Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya
pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies
Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk
membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan
STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang
seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari
susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada
sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan
financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan
non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan
ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan
tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk
mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar